Source: Financialmu IllustrationÂ
Jakarta, 13/08/2025. Di atas kertas, Koperasi Merah Putih lahir sebagai proyek ambisius. Delapan puluh ribu koperasi akan tumbuh di desa dan kelurahan di seluruh Indonesia, masing-masing disuntik dana miliaran rupiah. Pemerintah membayangkan geliat ekonomi rakyat yang kembali hidup, petani terbebas dari tengkulak, dan desa yang menjadi pusat kekuatan ekonomi baru. Harapannya, koperasi ini menjadi benteng ekonomi lokal, dijalankan dengan prinsip kebersamaan, kejujuran, dan kemandirian.
Namun, di lapangan, cerita yang berkembang tidak selalu seindah itu. Proses pembentukan banyak koperasi berlangsung tergesa-gesa, seperti lomba mengejar target kuantitas. Alih-alih memilih pengurus melalui musyawarah anggota, banyak desa justru menunjuk pengurus secara langsung. Dan di sinilah bibit masalah tumbuh: kursi-kursi strategis koperasi sering diisi oleh kerabat, teman dekat, atau orang-orang yang memiliki hubungan politik dengan pejabat desa. Kompetensi nyaris tak menjadi pertimbangan; yang utama adalah kedekatan personal.
Fenomena ini menimbulkan risiko ganda. Di satu sisi, para pengurus yang terpilih sering tidak memiliki pengetahuan memadai tentang manajemen koperasi, pengelolaan keuangan, atau strategi usaha. Di sisi lain, hubungan kedekatan mereka dengan pengawas sering kali kepala desa sendiri menciptakan benteng tak kasat mata yang melindungi mereka dari kritik dan teguran. Bahkan ketika terjadi kejanggalan, sanksi bisa dengan mudah dihindari.
Dari sinilah berbagai penyimpangan berpotensi lahir. Dana koperasi bisa mengalir ke proyek-proyek pengadaan yang tidak pernah ada wujudnya. Pinjaman diberikan kepada kerabat atau kroni tanpa bunga dan tanpa jaminan, lalu menguap begitu saja. Laporan keuangan disusun sedemikian rupa hingga semua terlihat rapi, meski di baliknya terdapat lubang besar yang tak pernah diungkap.
Risikonya bukan sekedar pada hilangnya uang. Dana yang digunakan untuk koperasi kerap bersumber dari Dana Desa, yang seharusnya dipakai membangun jalan, jembatan, atau sarana publik. Ketika koperasi gagal bayar pinjaman, bank bisa langsung memotong dana tersebut, meninggalkan desa tanpa anggaran pembangunan. Potensi kerugian bukan main-main: dengan dana Rp3 miliar per koperasi per tahun, kebocoran 10% saja berarti puluhan triliun rupiah menguap setiap tahun.
Kondisi ini diperburuk oleh rendahnya partisipasi anggota. Mereka yang seharusnya menjadi pemilik koperasi justru merasa tak punya suara. Semua keputusan diambil oleh segelintir orang, membuat anggota enggan mengawasi atau terlibat. Akibatnya, koperasi yang diharapkan menjadi simbol kebersamaan berubah menjadi kendaraan segelintir elit lokal untuk mengelola dana besar dengan pengawasan minimal.
Pengalaman masa lalu memberi peringatan keras. Data penegak hukum mencatat ratusan kasus korupsi Dana Desa selama satu dekade terakhir, dengan pola yang nyaris identik: uang besar, sumber daya manusia lemah, pengawasan longgar, dan nepotisme yang mengakar. Jika tidak ada perubahan mendasar dalam cara Koperasi Merah Putih dijalankan, sejarah ini berisiko terulang, hanya dalam skala yang jauh lebih besar.
Koperasi Merah Putih memang menyimpan potensi untuk mengubah wajah ekonomi desa. Tapi tanpa transparansi, pemilihan pengurus berbasis kompetensi, dan pengawasan yang independen, cita-cita itu bisa terperosok menjadi sekadar cerita kegagalan. Di atas semua itu, program ini membutuhkan pengelola yang memiliki kapasitas, integritas, dan dedikasi, bukan sekadar kedekatan darah atau politik. Sebab, jika yang dipertahankan adalah pola lama, Koperasi Merah Putih tidak akan menjadi pondasi kemajuan ekonomi desa, melainkan salah satu dari peluang yang disia-siakan.
Disclaimer: Artikel ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab pembaca. Finansialmu tidak bertanggung jawab atas segala konsekuensi dari keputusan investasi yang diambil.